Produksi Kedelai di Banyumas Terus Digenjot di 2024 ini
Budi Santoso
Sabtu, 4 Mei 2024 12:37:00
Murianews, Purwokerto – Kabupaten Banyumas masih akan terus menggenjot produksi kedelai mereka. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Dinpertan-KP) Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menargetkan luas tanam kedelai mencapai 2.000 hektare pada musim kemarau 2024 ini.
Kepala Dinpertan-KP Kabupaten Banyumas, Jaka Budi Santosa menyatakan, sebagian petani hanya menanam kedelai di daerah-daerah tertentu. Terkadang masih melihat kondisi cuaca untuk memastikan apakah masih ada potensi hujan atau sudah tidak ada hujan.
"Kedelai ini memang ditanam saat musim sadon (gadu/kemarau, red.), setelah tanam kedua," kata Jaka Budi Santosa di Purwokerto, seperti dilansir Antara, Sabtu (4/5/2024).
Jika sudah tidak ada hujan, maka para petani masih akan memastikan apakan ada saluran irigasi yang bisa menjamin ketersediaan air. Sehingga tanaman kedelai tersebut dapat dipanen.
"Oleh karena itu, luas tanam kedelai di Banyumas yang selama ini 2.000 hektare, harapan saya pada musim sadon ini bisa mencapai 2.000 hektare lagi, dengan produktivitas berkisar 1,5 ton hingga 1,7 ton per hektare," tambahnya.
Penanaman kedelai lokal yang hanya dilakukan di daerah-daerah tertentu disebut Jaka menjadi problem. Hal itu menimbulkan diparitas harga kedelai lokal dan impor.
Petani sering kali ragu untuk menanam komoditas lokal tersebut ketika terjadi anomali cuaca. Selain itu, juga karena produktivitas kedelai di Banyumas maupun daerah-daerah lain di Indonesia kalah dibanding Brasil dan Argentina.
"Dengan demikian petani kita yang menanam kedelai sedikit dan luas tanam menjadi sedikit. Di samping itu, kultur budaya petani kita belum biasa menanam kedelai terus-menerus tiap tahun, sehingga produksi kedelai di Banyumas ini tidak bisa memenuhi kebutuhan kedelai masyarakat Banyumas," katanya.
Saat ini harga kedelai lokal lebih tinggi dibanding kedelai impor yang selama ini digunakan perajin tempe dan tahu. Menurutnya, hal itu menunjukkan bahwa konsumen atau masyarakat Indonesia sudah bisa menghargai kualitas kedelai lokal, sehingga harganya di atas kedelai impor.
"Kedelai kita itu 'kan lebih enak, yang GMO (Genetically Modified Organism) ya," tutur Jaka Budi Santosa.
Murianews, Purwokerto – Kabupaten Banyumas masih akan terus menggenjot produksi kedelai mereka. Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (Dinpertan-KP) Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menargetkan luas tanam kedelai mencapai 2.000 hektare pada musim kemarau 2024 ini.
Kepala Dinpertan-KP Kabupaten Banyumas, Jaka Budi Santosa menyatakan, sebagian petani hanya menanam kedelai di daerah-daerah tertentu. Terkadang masih melihat kondisi cuaca untuk memastikan apakah masih ada potensi hujan atau sudah tidak ada hujan.
"Kedelai ini memang ditanam saat musim sadon (gadu/kemarau, red.), setelah tanam kedua," kata Jaka Budi Santosa di Purwokerto, seperti dilansir Antara, Sabtu (4/5/2024).
Jika sudah tidak ada hujan, maka para petani masih akan memastikan apakan ada saluran irigasi yang bisa menjamin ketersediaan air. Sehingga tanaman kedelai tersebut dapat dipanen.
"Oleh karena itu, luas tanam kedelai di Banyumas yang selama ini 2.000 hektare, harapan saya pada musim sadon ini bisa mencapai 2.000 hektare lagi, dengan produktivitas berkisar 1,5 ton hingga 1,7 ton per hektare," tambahnya.
Penanaman kedelai lokal yang hanya dilakukan di daerah-daerah tertentu disebut Jaka menjadi problem. Hal itu menimbulkan diparitas harga kedelai lokal dan impor.
Petani sering kali ragu untuk menanam komoditas lokal tersebut ketika terjadi anomali cuaca. Selain itu, juga karena produktivitas kedelai di Banyumas maupun daerah-daerah lain di Indonesia kalah dibanding Brasil dan Argentina.
"Dengan demikian petani kita yang menanam kedelai sedikit dan luas tanam menjadi sedikit. Di samping itu, kultur budaya petani kita belum biasa menanam kedelai terus-menerus tiap tahun, sehingga produksi kedelai di Banyumas ini tidak bisa memenuhi kebutuhan kedelai masyarakat Banyumas," katanya.
Saat ini harga kedelai lokal lebih tinggi dibanding kedelai impor yang selama ini digunakan perajin tempe dan tahu. Menurutnya, hal itu menunjukkan bahwa konsumen atau masyarakat Indonesia sudah bisa menghargai kualitas kedelai lokal, sehingga harganya di atas kedelai impor.
"Kedelai kita itu 'kan lebih enak, yang GMO (Genetically Modified Organism) ya," tutur Jaka Budi Santosa.