Rabu, 19 November 2025


MURIANEWS, Salatiga - Dalam rangka mencegah berkembangnya paham radikalisme dan intolereransi di lingkungan lembaga pendidikan maupun pondok pesantren (Ponpes), Tim Divisi Humas Mabes Polri menggelar Forum Group Discussion (FGD) di Ponpes Asyurkati, Salatiga, Rabu (13/4/2022).

FGD dengan tema "Terorisme Adalah Musuh Bersama" itu menghadirkan narasumber Nassir Abbas yang merupakan mantan Ketua JI dengan dipandu langsung pengasuh Ponpes Asyurkati Ustaz Didin.

Kegiatan diawali oleh Sambutan dari Kapolres Salatiga AKBP Indra Mardiana, dilanjutkan sambutan dari Tim Divisi Humas Mabes Polri AKBP Gatot Hendro Hartono yang membacakan Amanat dari Kadiv Humas Polri.

Narasumber Nasir Abbas dalam pemaparannya menyampaikan bahwa dirinya bukan asli orang Indonesia namun dari Singapura. Kemudian, dirinya menjadi Warga Negara Malaysia.

“Kemudian sekitar 35 tahun yang lalu saya berhenti sekolah setelah lulus SMP dan pingin belajar Alquran di sebuah Masjid, yang dianggap warga sekitar disebut sebagai Masjid Wahabi,” katanya.

Meski dipandang Wahabi, dirinya tidak peduli. Ia mengangggap bahwa masjid tersebut sangat cocok untuk dirinya. Akibatnya pendidikan yang diterimanya tidak lengkap.

“Selanjutnya saya berkenalan dengan Ustadz Abu Bakar Baasyir dan mengirim saya ke Afganistan, untuk melaksanakan jihad sesuai dengan ajaran yang saya kenal. Semuanya sudah disiapkan, namun setelah di sana justru saya disuruh masuk sekolah kembali,” ungkapnya.

Sekolah tersebut, lanjutnya, bertujuan untuk belajar dalam rangka mempersiapkan diri membentuk negara Islam. “Sampai saya lulus tahun 1990 dan menjadi pengajar di sana. Kemudian saya aktif sebagai Ketua Kelompok Jamaah Islamiyah (JI) Wilayah Timur termasuk menguasai wilayah Indonesia,” terangnya.
Sekolah tersebut, lanjutnya, bertujuan untuk belajar dalam rangka mempersiapkan diri membentuk negara Islam. “Sampai saya lulus tahun 1990 dan menjadi pengajar di sana. Kemudian saya aktif sebagai Ketua Kelompok Jamaah Islamiyah (JI) Wilayah Timur termasuk menguasai wilayah Indonesia,” terangnya.Ia menjelaskan, kelompak yang diikuti (JI) inilah yang merencanakan tindakan melawan pemerintah (Indonesia). Namun pada akhirnya aksi mereka menyimpang. Sehingga terjadilah aksi terorisme, seperti pengeboman gereja dan tindakan tindakan pengeboman lainnya.“Saya bersyukur, 18 April 2003 lalu, saya tertangkap dalam keadaan hidup. Kemudian saya menyadari bahwa saya salah dan sekarang ikut membantu polisi dalam rangka mencegah berkembangnya paham radikalisme, karena terorisme adalah musuh kita bersama,” tegasnya.“Hikmahnya saya menyadari bahwa memang ada kelompok yang mengatasnakan Islam untuk melawan pemerintah yang sah di Indonesia. Padahal apa yang mereka lakukan di Indonesia menyalahi aturan jihad. Misalnya membunuh wanita, membunuh anak-anak, membunuh lawan yang tanpa perlawanan dan merusak tempat ibadah lain, namun kelompok2 tersebut melakukan itu semua,” tambahnya.Ia menambahkan, perbuatan yang diridhoi Allah adalah niat baik dan sesuai tuntunan. Ia pun mengakui niat jihad itu baik. Namun apa yang kelompok JI dengan cara pengeboman dan lain-lain itu tidak baik.“Saat ini siapa saja bisa direkrut oleh mereka. Sehingga perlu kita membentengi diri yaitu dengan cara belajar yang benar. Agar tidak ikut sana ikut sini tanpa pengetahuan yang cukup dan tidak masuk kelompok terorisme,” tandasnya. Reporter: SupriyadiEditor: Supriyadi

Baca Juga

Komentar

Jateng Terkini

Terpopuler