Rabu, 19 November 2025


Ihwal disetarakannya produk-produk legal seperti rokok, hasil tembakau lainnya dan minuman beralkohol dengan psikotopika serta narkotika karena masuk dalam satu kelompok zat adiktif. Padahal, psikotropika dan narkotika telah diatur oleh undang-undang tersendiri.

Pernyataan tersebut diungkapkan Pakar Tata Negara dan Hukum Kesehatan Universitas Sebelas Maret, Sunny Ummul Firdaus sebagaimana dilansir dari Suara.com, Kamis (6/4/2023).

Ia menjelaskan, pihaknya mendukung penuh pemerintah yang tengah menyusun Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan dengan metode omnibus law. Hanya, ia meminta penyusunan tersebut untuk mengedepankan tata cara penyusunan produk hukum yang baik agar tidak memunculkan masalah baru.

”Dalam draf RUU tersebut rokok disejajarkan oleh minuman alkohol dan narkotika. Sepertinya ini nanti akan menimbulkan masalah baru,” katanya, Selasa (4/4/2023) lalu.

Ketentuan tersebut, lanjutnya, tercantum dalam draf rancangan pasal 154 ayat (3) dengan bunyi, zat adiktif dapat berupa, narkotika, psikotropika, minuman beralkohol, hasil tembakau, dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya.

Baca: Ratusan Batang Rokok Ilegal di Pati Berhasil Diamankan

Sunny menilai ketentuan pukul rata zat adiktif ini menjadi klausul yang perlu diberikan penjelasan yang lebih komprehensif. Tujuannya agar tidak ada multitafsir yang kelak dapat memicu masalah lebih besar.

Menurutnya jika dua kategori produk yaitu legal dan ilegal tersebut diperlakukan serupa, perlu ada penjelasan secara filosofis, empiris, dan yuridis karena dua kelompok produk ini memiliki aspek sosio kultural yang berbeda.
”Saya memahami niat Kementerian Kesehatan dalam mendorong revisi RUU Kesehatan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Namun Jika ada dua jenis produk yang kedudukannya di hadapan hukum berbeda namun diperlakukan dengan sama, maka harus dapat jelaskan apa original intent atau maksud yang sebenarnya terkandung di dalamnya. Sehingga tidak melanggar Pancasila dan UUD 1945 serta memberikan kerugian konstitusional bagi masyarakat,” jelasnya.Ia juga mempertanyakan apa maksud dari ketentuan penyamarataan ini di dalam revisi RUU Kesehatan.”Apakah jika RUU Kesehatan terbit dengan ketentuan tersebut, dapat ditafsirkan jika masyarakat dapat memilih mau konsumsi rokok atau alkohol yang dianggap ilegal? Atau sebaliknya, narkotika dan psikotropika yang bisa dikonsumsi secara legal?” tanya dia.Sunny turut menekankan revisi regulasi harus dikonstruksi secara jelas dan tegas agar tidak menimbulkan masalah baru. Selain itu, Sunny juga mengingatkan ketentuan penyusunan regulasi nasional secara prosedural harus mengacu UU 12/2011 yang diperbaharui dalam UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.Baca: Buruh Rokok di Kudus Kembali Dibekali Keterampilan Tambahan”Pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan apa dampak yang akan muncul dari klausul zat adiktif tersebut jika disetujui,” imbuh Sunny.Sebagai catatan, revisi RUU Omnibus Law Kesehatan ini akan mencabut dan/atau mengubah sembilan undang-undang. Kesembilannya adalah UU Kesehatan, UU Wabah Penyakit Menular, UU Praktik Kedokteran, UU Rumah Sakit, UU Kesehatan Jiwa, UU Tenaga Kesehatan, UU Keperawatan, UU Kekarantinaan Kesehatan, dan UU Kebidanan.Omnibus Law Kesehatan juga mengubah UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, UU Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Pendidikan Tinggi.

Baca Juga

Komentar

Jateng Terkini

Terpopuler