114 Anak di Solo Putus Sekolah, Disdik: Ada yang Persoalan Biaya

Supriyadi
Jumat, 2 Juni 2023 15:26:28


Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Solo Abdul Haris mengatakan setidaknya ada dua faktor penyebab anak putus sekolah (APS).
Pertama, anak berasal dari keluarga miskin (Gakin) sehingga tidak mampu menyekolahkan anaknya. Kedua, masih ada beberapa anak yang memang lebih memilih bekerja.
”Bahkan ada yang minta kompensasi, misal si anak ini bekerja sehari dapat Rp 100 ribu, dia mau sekolah asalkan sehari juga dikasih uang Rp 100 ribu,” katanya seperti dikutip Solopos.com, Jumat (2/6/2023).
Baca: Angka Putus Sekolah Tinggi, PPDB di Jateng Wajib Perhatikan Tiga Hal Ini
Haris menyebutkan, berdasarkan data dinas, memang ada 114 anak yang putus sekolah. Hanya saja, ia masih akan memastikan jumlah tersebut.
”Data masih kita cek ya, artinya mungkin saja ada kesalahan atau human error, namun kurang lebih segitu angkanya,” ungkapnya.
Hingga saat ini, lanjutnya, Disdik mendorong agar anak-anak terpenuhi haknya untuk mengenyam bangku sekolah. Menurut dia, zaman sekarang tuntutannya berbeda dan anak harus dibekali ilmu lewat sekolah formal.
”Mudah-mudahan dengan sosialisasi lewat walinya, mereka mau dan bisa sekolah, bukan masalah ijazahnya tapi ilmu pengetahuannya,” tambah dia.
Pihaknya menyebut siap memfasilitasi APS lewat sekolah negeri. Anak-anak yang putus sekolah bisa mengenyam pendidikan secara gratis.
Namun, jika ada faktor lain, misal sudah tidak masuk pada usia sekolah, pihaknya akan mengarahkan ke ujian penyetaraan.
”Kalau masuk usia sekolah kita dorong untuk masuk sekolah formal, tapi kalau sudah usia di atas 17 tahun dan belum punya ijazah SMP ikut ujian paket B atau C,” lanjut dia.
Haris menyebut sudah ada target yang ditetapkan oleh Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, yang mengharuskan pada 2024 anak di Solo sudah tidak ada lagi yang putus sekolah. Pihaknya mendorong minimal sampai SMA.
”Pak Wali mintanya zero, target 2024 sudah tidak ada lagi anak tidak sekolah. Ini berat ya, karena yang tidak sekolah itu bukan karena masalah biaya, mungkin saja dia tidak mau,” ujar Haris.
Namun, pihaknya akan mengupayakan dan bekerja sama dengan wilayah, dalam hal ini kelurahan dan kecamatan untuk melakukan pendataan jumlah secara pasti anak yang putus sekolah.
”Kita tentu membuat kebijakan, menganggarkan dana, sosialisasi, lalu penangagan. Untuk penanganan, yang pertama kita melakukan validitas data dulu, karena memang data belum sepenuhnya valid ya,” lanjut dia.
Setelah data pasti, Haris menyebut akan datang langsung untuk membujuk dengan pendekatan yang bisa diterima. Terutama, terlebih dahulu menyadarkan orang tua dan anak tentang pentingnya sekolah untuk mereka.