Bagi Subaedah, mereka adalah tetangga yang perlu juga dipikirkan nasibnya. Seratus ribu sampai dua ratus ribu rupiah per tiga hari sekali, rutin ia keluarkan untuk membeli pakan-pakan para tetangganya itu.
Subaedah sendiri adalah satu dari sejumlah warga lokal yang menjajakan jasa fotografer untuk para wisatawan Kota Lama agar bisa berfoto ria, dengan bayaran seikhlasnya.
Dari bayaran-bayaran wisatawan inilah yang kemudian ia bagi berdua, bertiga bahkan berempat dengan para kucing dan binatang lainnya di area Kota Lama.
Tiap pagi hari, ia berpatroli mengisi kotak-kotak makanan kucing. Dari Gereja Blenduk, area sate kambing hingga Stasiun Tawang, ia kelilingi guna memastikan si tetangga tidak kelaparan.
”Saya sudah sejak 2015 lalu, ya awalnya hanya satu kucing. Dia kedinginan di taman lalu saya ambil, eh tiba-tiba sampai sekarang beranak pinak dan sampai sekarang saya merawatnya tidak yang di sini, tapi se-Kota Lama saya rawat,” ujar Subaedah.
Murianews, Semarang – Pakaiannya lusuh, rambutnya beruban dengan wajah berusia setengah abad yang nampak telah memakan kerasnya dunia. Begitulah kiranya orang biasa menilai Subaedah.
Dia tinggal di seputaran kawasan Kota Lama. Di balik penampilannya yang tak sempurna bahkan dipandang sebelah mata, siapa sangka Subaedah punya hati yang sangat mulia. Ia dengan sadar dan atas kemauan sendiri merawat puluhan kucing-kucing Kota Lama.
Bagi Subaedah, mereka adalah tetangga yang perlu juga dipikirkan nasibnya. Seratus ribu sampai dua ratus ribu rupiah per tiga hari sekali, rutin ia keluarkan untuk membeli pakan-pakan para tetangganya itu.
Subaedah sendiri adalah satu dari sejumlah warga lokal yang menjajakan jasa fotografer untuk para wisatawan Kota Lama agar bisa berfoto ria, dengan bayaran seikhlasnya.
Dari bayaran-bayaran wisatawan inilah yang kemudian ia bagi berdua, bertiga bahkan berempat dengan para kucing dan binatang lainnya di area Kota Lama.
Tiap pagi hari, ia berpatroli mengisi kotak-kotak makanan kucing. Dari Gereja Blenduk, area sate kambing hingga Stasiun Tawang, ia kelilingi guna memastikan si tetangga tidak kelaparan.
”Saya sudah sejak 2015 lalu, ya awalnya hanya satu kucing. Dia kedinginan di taman lalu saya ambil, eh tiba-tiba sampai sekarang beranak pinak dan sampai sekarang saya merawatnya tidak yang di sini, tapi se-Kota Lama saya rawat,” ujar Subaedah.
Soulmate...
Tak semua dari kucing yang ia rawat diberi nama. Hanya empat sampai lima kucing yang bisa dibilang menjadi soulmate-nya dalam bekerja. Ada Oyen, Rapop hingga Molly yang kini tengah bunting dan hitungan lahirnya tinggal beberapa hari.
Subaedah sendiri sangat terbantu dengan banyaknya wisatawan yang juga pedulu pada kucing-kucingnya. Tak jarang mereka memberi tips bagi para mahluk berbulu tersebut.
Khusus untuk itu, Subaedah tak akan memakainya untuk kebutuhan hariannya. Ia berpedoman jika rezeki untuk kucing adalah rezeki si kucing. Namun jika itu rezekinya, maka itu menjadi rezeki untuk kucing juga.
”Alhamdulillah walau penghasilan tidak tentu, namun ada saja yang memberi untuk kucing, biasanya dari tamu-tamu begitu lalu saya belikan dan langsung keliling, sampai Stasiun Tawang situ juga dulu saya,” tuturnya.
Soal alasan mengapa ia rela melakukan hal demikian, Subaedah hanya menjawab ini merupakan jalan hidupnya. Ia berprasangka baik dengan segala mahluk hidup yang ada, saling membantu dan keberkahan akan mendekat kepadanya.
”Ya memang mungkin ini petunjuk dari Allah ya, namanya rezeki ada yang dari kucing juga, dijalani saja,” tuturnya.
Mak Kucing...
Dari segala aktivitasnya inilah, ia kini terkenal dengan julukan Mak Kucing, atau ibu bagi para kucing-kucing Kota Lama.
Subaedah dan para kucingnya sering menyapa para wisatawan di area dekat Gereja Blenduk. Bila tidak sedang terburu-buru dalam berwisata, tidak ada salahnya menyapa mereka.