Menurut politisi PDI Perjuangan ini, jika tren alih fungsi lahan terus berlanjut tanpa mitigasi yang efektif, ketahanan pangan daerah akan menjadi rentan.
”Kalau tren ini terus berlanjut tanpa mitigasi yang efektif, maka ketahanan pangan bisa terancam. Ke depan anak cucu kita mau makan apa?” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jateng, Endi Faiz Effendi, menyoroti peran strategis sektor perikanan dalam menopang ketahanan pangan, terutama di tengah perkiraan kenaikan populasi global secara eksponensial.
Menurut Endi, perikanan memiliki peran vital dalam memenuhi kebutuhan protein. Secara kandungan, 1 gram ikan mengandung 0,22 gram protein, yang disebut lebih tinggi dibandingkan telur, serta mengandung omega 3 yang penting bagi pertumbuhan otak.
Ironisnya, Endi mengungkapkan bahwa tingkat konsumsi ikan di Jawa Tengah masih sangat rendah, yakni rata-rata hanya 41,14 kilogram per orang per tahun. Angka ini jauh di bawah rata-rata nasional (54,14 kg/orang/tahun), bahkan menjadi nomor dua terbawah di Indonesia, hanya kalah dari DIY.
Endi menjelaskan, rendahnya konsumsi ini dipengaruhi oleh persepsi negatif di masyarakat—terutama di daerah pedalaman—yang menyebutkan makan ikan dapat menyebabkan cacingan. Mitos ini dikaitkan dengan masalah kemiskinan dan mahalnya harga ikan akibat rantai pasok yang panjang dari laut.
Sumanto menutup dengan menegaskan kembali bahwa sesuai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Jawa Tengah ditetapkan sebagai penopang sumber pangan nasional, dan sektor pertanian, peternakan, serta perikanan menjadi kunci utama untuk menumbuhkan perekonomian daerah secara signifikan.
Murianews, Solo – Provinsi Jawa Tengah (Jateng) yang dikenal sebagai salah satu lumbung pangan nasional menghadapi ancaman serius akibat maraknya alih fungsi lahan pertanian.
Kondisi ini dikhawatirkan berdampak langsung terhadap ketahanan pangan dan keberlanjutan sektor pertanian di masa depan.
Ketua DPRD Jawa Tengah, Sumanto, mengungkapkan bahwa setiap tahun, luas lahan pertanian di provinsi tersebut berkurang antara dua hingga tiga persen.
Lahan produktif ini beralih fungsi menjadi permukiman, kawasan industri, hingga pembangunan infrastruktur seperti jalan tol.
Saat menjadi narasumber Program Aspirasi Jateng di Studio TATV Solo, Sumanto berharap para Bupati dan Wali Kota dapat lebih selektif dalam memberikan izin pembangunan non-pertanian.
”Kami di provinsi sudah membuat Perda RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), tanah lestari kita tingkatkan. Saya berharap Bupati/Walikota selektif karena petani mau tanam padi yang dibutuhkan tanah,” ujar Sumanto.
Sumanto menegaskan bahwa Jawa Tengah saat ini menempati posisi kedua sebagai lumbung pangan nasional, setelah Jawa Timur.
Ia meminta posisi strategis ini harus dipertahankan, mengingat upaya membuat lahan pertanian baru membutuhkan proses yang sangat lama dan tidak bisa instan.

”Membuat lahan pertanian dari hutan menjadi lahan yang bisa ditanami padi prosesnya lama. Contohnya program food estate kan juga tidak mudah, tidak bisa instan,” paparnya.
Mitigasi...
Menurut politisi PDI Perjuangan ini, jika tren alih fungsi lahan terus berlanjut tanpa mitigasi yang efektif, ketahanan pangan daerah akan menjadi rentan.
”Kalau tren ini terus berlanjut tanpa mitigasi yang efektif, maka ketahanan pangan bisa terancam. Ke depan anak cucu kita mau makan apa?” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Jateng, Endi Faiz Effendi, menyoroti peran strategis sektor perikanan dalam menopang ketahanan pangan, terutama di tengah perkiraan kenaikan populasi global secara eksponensial.
Menurut Endi, perikanan memiliki peran vital dalam memenuhi kebutuhan protein. Secara kandungan, 1 gram ikan mengandung 0,22 gram protein, yang disebut lebih tinggi dibandingkan telur, serta mengandung omega 3 yang penting bagi pertumbuhan otak.
Ironisnya, Endi mengungkapkan bahwa tingkat konsumsi ikan di Jawa Tengah masih sangat rendah, yakni rata-rata hanya 41,14 kilogram per orang per tahun. Angka ini jauh di bawah rata-rata nasional (54,14 kg/orang/tahun), bahkan menjadi nomor dua terbawah di Indonesia, hanya kalah dari DIY.
Endi menjelaskan, rendahnya konsumsi ini dipengaruhi oleh persepsi negatif di masyarakat—terutama di daerah pedalaman—yang menyebutkan makan ikan dapat menyebabkan cacingan. Mitos ini dikaitkan dengan masalah kemiskinan dan mahalnya harga ikan akibat rantai pasok yang panjang dari laut.
Sumanto menutup dengan menegaskan kembali bahwa sesuai Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Jawa Tengah ditetapkan sebagai penopang sumber pangan nasional, dan sektor pertanian, peternakan, serta perikanan menjadi kunci utama untuk menumbuhkan perekonomian daerah secara signifikan.