Bahkan, cukup banyak anak-anak di sekolah yang mengalami gangguan kejiwaan ringan, sedang, hingga berat.
Program MHFA itu guna menyikapi kecenderungan anak yang lebih suka curhat kepada temannya dari pada orang tua. MHFA menjadi wujud kewaspadaan untuk melihat kasus-kasus kesehatan jiwa dari yang sangat ringan.
”Anak yang tadinya ceria menjadi murung, anak yang tadinya terbuka menjadi tertutup. Ini menjadi kewaspadaan kita semua,” papar Yunita.
Menurutnya, ada beberapa faktor penyebab gangguan kejiwaan pada anak. Salah satunya kurangnya perhatian dari orang tua karena terlalu asyik dengan gawai, kondisi sosial ekonomi, kemudian pergaulan.
”Jadi dengan adanya media sosial ini anak-anak melihat banyak hal yang sebetulnya belum usianya, atau (konten) tidak sesuai usianya. Kemudian mereka mengalami stres yang tidak diketahui dan itu terus-menerus mengganggu mereka,” bebernya.
Murianews, Semarang – Program dokter spesialis keliling (Speling) Pemprov Jateng menemukan fakta mengejutkan. Sebanyak 6,7 persen dari 37 ribu warga yang sudah mendapatkan pelayanan program itu terdeteksi mengalami gangguan kejiwaan.
Bahkan, banyak dari mereka masih berusia sekolah. Mereka terdeteksi mengalami gangguan kejiwaan baik itu kategori ringan, sedang, maupun berat.
Kepala Dinkes Jateng, Yunita Dyah Suminar mengatakan, masalah gangguan kejiwaan pada masyarakat menjadi salah satu perhatiannya. Program Speling menjadi salah satu cara untuk mendeteksi persoalan tersebut hingga ke desa-desa.
”Melalui program cek kesehatan gratis (CKG) dikombinasikan dengan Speling, ternyata kita bisa melihat banyak sekali kasus-kasus kesehatan jiwa yang tidak terdeteksi awalnya,” kata Yunita di RSJD Dr Amino Gondohutomo, Kamis (31/7/2025).
Ia menambahkan, melalui program ini, masyarakat akan menjalani pemeriksaan awal lebih dulu. Setelah itu baru diketahui keluhan hingga gejala yang di alami.
Masyarakat kemudian langsung diarahkan pada dokter spesialis yang dihadirkan untuk memberikan pelayanan, salah satunya adalah dokter spesialis kejiwaan.
”Begitu skrining ada depresi ringan, sedang, atau berat, mereka langsung bisa ketemu dokter spesialis jiwa. Itulah bukti kolaborasi program ini bisa mengefisienkan anggaran, sisi lain kita bisa mendapatkan angka-angka berkaitan masalah kesehatan, termasuk kesehatan jiwa,” jelasnya.
Ia menyebut, gangguan kesehatan kejiwaan itu juga menyasar pada generasi muda. Dalam program Speling maupun CKG, memang menjakau masyarakat berusia 7 tahun ke atas dengan target menjangkau 10 persen. Dari target tersebut, Jateng sudah tercapai sekitar 6,3 persen.
Anak Sekolah...
Bahkan, cukup banyak anak-anak di sekolah yang mengalami gangguan kejiwaan ringan, sedang, hingga berat.
Ia mencontohkan pada kasus di salah satu SMA yang telah mendapatkan program Speling. Dari total 150 anak yang diperiksa, ada sekitar 30-an anak mengalami gangguan kejiwaan.
”Maka ada program Mental Health First Aid (MHFA) yang dilakukan. Jadi ada kader yang mendengar keluhan temannya. Itu dimulai dari SD, SMP, SMA,” katanya.
Program MHFA itu guna menyikapi kecenderungan anak yang lebih suka curhat kepada temannya dari pada orang tua. MHFA menjadi wujud kewaspadaan untuk melihat kasus-kasus kesehatan jiwa dari yang sangat ringan.
”Anak yang tadinya ceria menjadi murung, anak yang tadinya terbuka menjadi tertutup. Ini menjadi kewaspadaan kita semua,” papar Yunita.
Menurutnya, ada beberapa faktor penyebab gangguan kejiwaan pada anak. Salah satunya kurangnya perhatian dari orang tua karena terlalu asyik dengan gawai, kondisi sosial ekonomi, kemudian pergaulan.
”Jadi dengan adanya media sosial ini anak-anak melihat banyak hal yang sebetulnya belum usianya, atau (konten) tidak sesuai usianya. Kemudian mereka mengalami stres yang tidak diketahui dan itu terus-menerus mengganggu mereka,” bebernya.