Sumami masih tersenyum kepada para pelanggan sembari tangannya dengan cekatan mengambilkan seporsi nasi dan setumpuk lauk pauk yang dipilih langsung oleh pelanggannya. Mereka baru saja datang dan berharap bisa segera menerima sarapan yang mereka pesan.
Di belakang Sumami tampak tiga orang wanita paruh baya lainnya juga tak kalah sibuk. Satu orang sedang menanak nasi, satu lagi meracik bumbu dan satunya sedang menggoreng ikan dan lauk-lauk lain.
Ada pula satu pria yang membawakan aneka minuman dalam satu genggaman ke masing-masing pelanggan. Sudah pasti itu adalah minuman pesanan pelanggannya dan pria dengan rambut lebat namun full beruban itu yang mengantarkannya.
Angin pagi area persawahan, menjadi satu-satunya pendingin ruangan alami di warung yang berdiri di pinggir jalan tanpa nama dan tanpa plang penanda. Namun, jejeran mobil dan motor yang terparkir di depan warung ini sedikit menghalangi sirkulasi udara.
Padahal saat itu baru pukul setengah delapan pagi. Tapi wajah pelanggan Sumami tampak memerah dan berkeringat. Ada yang kipas-kipas, ada pula yang menyeka keringatnya dengan tisu di bagian dahi mereka. Itu terjadi setelah mereka menyuap sedikit demi sedikit makanan yang mereka pesan tadi.
Ada yang memakan gulai sapi, nasi pecel, ramesan hingga kepala manyung yang tampaknya menggugah selera. Raut muka mereka bahagia. Wajah puas atas apa yang mereka makan baru saja menjadi yang dominan jika dilihat-lihat.
Sumami juga tampak bahagia melihat pelanggannya. Sesekali menyapa dan bertanya bagaimana dengan masakannya.
Enak-kurang apa atau tambah nasinya tidak? Tentunya itu diucapkannya dengan bahasa Jawa dengan logat khasnya. Mayoritas berkata sangat puas dengan masakannya.
Ada pula yang membalas sapaan Sumami dengan mengatakan jika hanya ada satu kelemahan dari masakannya, yaitu harus dibayar. Jika semua makanan yang disajikannya gratis, jelas itu akan jadi kebahagiaan kombo yang pelanggan itu rasakan. Dia memang tampak akrab dengan Sumami, bisa jadi warga setempat atau pelanggan tetapnya.
Murianews, Demak – Pagi itu, Sumami atau yang kerap disapa Mia, melihat warung sederhananya ramai. Sudah hampir dua jam sejak pukul enam pagi suara sendok-garpu beradu dengan piring. ”ting-ting-ting-ting,” bunyinya makin nyaring dan temponya makin cepat seiring makin sedikit pula nasi dan lauk yang pelanggan-pelanggannya suap ke mulut mereka.
Sumami masih tersenyum kepada para pelanggan sembari tangannya dengan cekatan mengambilkan seporsi nasi dan setumpuk lauk pauk yang dipilih langsung oleh pelanggannya. Mereka baru saja datang dan berharap bisa segera menerima sarapan yang mereka pesan.
Di belakang Sumami tampak tiga orang wanita paruh baya lainnya juga tak kalah sibuk. Satu orang sedang menanak nasi, satu lagi meracik bumbu dan satunya sedang menggoreng ikan dan lauk-lauk lain.
Ada pula satu pria yang membawakan aneka minuman dalam satu genggaman ke masing-masing pelanggan. Sudah pasti itu adalah minuman pesanan pelanggannya dan pria dengan rambut lebat namun full beruban itu yang mengantarkannya.
Angin pagi area persawahan, menjadi satu-satunya pendingin ruangan alami di warung yang berdiri di pinggir jalan tanpa nama dan tanpa plang penanda. Namun, jejeran mobil dan motor yang terparkir di depan warung ini sedikit menghalangi sirkulasi udara.
Padahal saat itu baru pukul setengah delapan pagi. Tapi wajah pelanggan Sumami tampak memerah dan berkeringat. Ada yang kipas-kipas, ada pula yang menyeka keringatnya dengan tisu di bagian dahi mereka. Itu terjadi setelah mereka menyuap sedikit demi sedikit makanan yang mereka pesan tadi.
Ada yang memakan gulai sapi, nasi pecel, ramesan hingga kepala manyung yang tampaknya menggugah selera. Raut muka mereka bahagia. Wajah puas atas apa yang mereka makan baru saja menjadi yang dominan jika dilihat-lihat.
Sumami juga tampak bahagia melihat pelanggannya. Sesekali menyapa dan bertanya bagaimana dengan masakannya.
Enak-kurang apa atau tambah nasinya tidak? Tentunya itu diucapkannya dengan bahasa Jawa dengan logat khasnya. Mayoritas berkata sangat puas dengan masakannya.
Ada pula yang membalas sapaan Sumami dengan mengatakan jika hanya ada satu kelemahan dari masakannya, yaitu harus dibayar. Jika semua makanan yang disajikannya gratis, jelas itu akan jadi kebahagiaan kombo yang pelanggan itu rasakan. Dia memang tampak akrab dengan Sumami, bisa jadi warga setempat atau pelanggan tetapnya.
Primadona Pantura...
Pukul 08.30 WIB, warung Sumami mulai senggang. Menunya sudah mulai habis. Maklum saja, kalau ramai, warung ini hanya beroperasi hingga tengah hari saja, tapi kalau pengunjungnya ramai biasa, mentok sampai jam dua siang. Dia berjalan menuju meja di pojokan, tempat di mana murianews.com menunggunya.
Menunggu dia melayani pelanggan-pelanggannya yang entah dari mana saja dan setelah itu bersedia menceritakan sedikit kisah hidupnya dan warung makan sederhana yang dia namai Pondok Dahar Selera Jenderal yang beralamatkan Krajan Lor, Pundenarum, Kec. Karangawen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah
Sebuah warung di pinggiran Kota Wali yang kini menjadi primadona pecinta kuliner lokal Pantura hingga Semarang dan sekitarnya.
Sumami menyapa dengan hangat lalu kemudian sedikit bernostalgia. Dia berkata masih tidak menyangka jika warungnya kini menjadi besar dan menjadi jujugan pelancong-pelancong rasa dari berbagai wilayah di Pantura dan sekitarnya.
Padahal kata dia, dulu saat membangun usahanya ini lebih banyak nangis-nya ketimbang modal usahanya.
”Kalau tidak ada Pertamina juga, saya mungkin tidak bisa berdiri sekuat ini,” singgungnya sedikit.
Mia dan Imam ikut menyajikan hidangan yang dipesan di warung makan mereka Pondok Dahar Mantap Selera Jenderal Demak (Murianews/Anggara Jiwandhana)
Sumami dan suaminya Imam Sudjiman memang bukan berasal dari Demak sendiri. Mereka adalah sepasang suami istri dengan tiga anak yang memutuskan menjalani kehidupan baru setelah Imam pensiun sebagai PNS di Dinas Perhubungan Semarang tahun 2012 silam.
Mereka ingin menghabiskan masa tuanya di kota yang santai bersama ketiga anaknya yang saat itu masih berusia tak lebih dari 15 tahunan untuk yang paling tua. Demak adalah jujugan utama. Kata Sumami, sebenarnya ada dua lagi kandidat di mana mereka bisa menghabiskan masa tua.
Namun Kota Wali ini jadi satu-satunya yang masuk akal. Baik dari segi lingkungan dan saldo tabungan pensiun mereka. Di tahun itu pula, mereka pindah.
”Dulu tidak seperti ini, tiap hari mas, saya nangis batin. Saya mau ngapain di sini, mau berbuat apa, tabungan Taspen (pensiun) juga sudah mulai habis. Akhirnya saat itu saya bertekat untuk jualan. Tapi Bapak sempet ragu-ragu waktu itu, tapi ya tetap akhirnya berusaha dan yakin mau jualan,” kata Sumami membuka obrolan dengan murianews.com.
Modal Rp 500 ribu...
Setengah yakin, Ia dan suaminya pun mulai merencanakan akan berjualan apa dan akan berlokasi di mana. Mengingat tempat tinggalnya yang dulu berada di tanah yang entah berlokasi di mana. Maksudnya, adalah wilayah yang sepi dan jarang sekali orang berhenti.
Wajar saja, kanan kirinya adalah sawah. Suara air lebih berisik waktu itu ketimbang suara kendaraan. Tapi di tengah kondisi seperti itu, tekanan ekonomi membuat Sumami dan Imam nekat dan akhirnya membulatkan tekad.
Pojokan jalan yang tak jauh dari rumah mereka dipilih sebagai lokasi warung pertama mereka. Pecaya tidak percaya, modal mereka hanya tiga setengah juta rupiah saja. Di tahun 2012, nominal tersebut tergolong kecil untuk sebuah modal usaha yang membutuhkan properti.
Sumami dan Imam tak hilang asa. Rp 500 ribu adalah modal untuk bahan baku makanan. Rp 3 juta sisanya, untuk membangun warung yang terbuat dari bambu. Kata Sumami, suaminya sendiri yang mengurusi.
Ya membeli bambu, membawa dengan sepeda motor lamanya dan membuat warung dari bambu yang menjadi titik awal perjalanan baru mereka itu. Sendiri, tak ada yang membantu karena tak ada dana untuk membayar jasa angkut atau pertukangan.
”Segitu ya dapatnya cuma bambu mas, benar-benar semuanya bambu sudah, tempatnya sempit dan kalau dibilang nggak layak, saya nggak tersinggung. Karena kenyataannya seperti itu, tapi itu hasil kerja keras bapak, dia sendiri yang buat, seorang diri, jadi tetap senang,” kata Sumami melanjutkan ceritanya.
Menu perdananya saat jualan pada tahun 2012 itu hanyalah gulai sapi dan soto sapi. Sehari dua hari, dagangan mereka belum laku dan bahkan merugi. Namun Mia, sapaan akrab Sumami tidak mau menyerah.
Hari-hari selanjutnya, memang masih berat. Apalagi dengan kondisi yang mengharuskannya wira-wiri dari rumah ke warung. Maklum saja, warung mereka sempit dan bila butuh masak lagi, Ia harus Kembali ke rumah dan memasak di ruangan sepetak yang juga menjadi tempat istirahatnya. Tapi Sumami tidak mau menyerah.
”Pokoknya zaman-zaman nggak enak. Tapi Alhamdulillah kita jualan rugi sekali dua kali. Setelahnya masuk bisa naik lagi, untung. Pokoknya tiap hari semangat buat belanja. Saya jualan pagi, siang saya ke pasar. Semua sendiri, zaman gak enak itu, sekarang merasakan madunya (hasilnya),” sambung Sumami.
Titik balik pertama...
Usaha kulinernya kemudian makin berkembang. Titik balik awalnya adalah ketika ada rombongan goweser dari Semarang. Juga rombongan dari Grobogan yang dengan sukarela mempromosikan warung sederhananya ini dari mulut ke mulut.
Mereka juga bahkan mendaftarkan warung Sumami yang kala itu bernama Pondok Dahar Mantap ke Google agar bisa memudahkan siapapun yang ingin mampir ke warung tersebut. Memang tidak salah jika menyebut warung ini sebagai hidden gem kala itu.
Tuhan seolah juga merestui Sumami, usahanya lancar, gulai sapinya jadi primadona dan dikenal masyarakat yang entah dari mana saja. Namun namanya hidup, tentu saja ada cobannya.
Tahun 2014, aliran sungai di bawah warungnya berdiri akan dinormalisasi. Surat peringatan untuk membongkar warung dilayangkan pada mereka. Karena merasa memang bukan haknya, Sumami dan Imam menurut saja.
Warung penuh sejarah tersebut mereka bongkar dan dipindah ke depan rumah. Jaraknya dari lokasi warung lama tak terlalu jauh, sekitar 500 meter kiranya. Meski begitu tetap saja ia banyak kehilangan pelanggannya yang mengira warung miliknya itu pindah entah kemana.
Namun, banyak pula yang dengan mudahnya mengerti lokasi baru warungnya. Hingga akhirnya warungnya ramai lagi dan banyak pengunjung-pengunjung bermobil yang mampir. Mereka adalah aparat kepolisian hingga pegawai pemerintahan.
Aneka hidangan yang bisa dipesan di warung makan mereka Pondok Dahar Mantap Selera Jenderal Demak (Murianews/Anggara Jiwandhana)
Dari situlah kemudian nama Selera Jenderal mencuat dan menjadi nama resmi warungnya. Karena meskipun warungnya alakadarnya, namun pembelinya memiliki jabatan semua walau bukan seorang jenderal.
”Seminggu dua minggu masih penyesuaian, untungnya banyak yang akhirnya tahu ke mana saya pindah, jadi Alhamdulillah lancar lagi. Pas itu, sudah, pelanggan mulai naik, saya nambah menu jualan ada manyung ada lain-lain juga dan nambah karyawan. Saat itu ada tiga, dulu sempat lima, ya sampai sekarang ada tiga yang tumbuh bersama istilahnya, mereka, Buk Siti, Kameni dan Suyati,” lanjutnya bercerita.
Tujuh kompor di dapurnya yang selalu menyala adalah saksi perjuangannya memuaskan hasrat makan dari para pelanggan. Memasak berbagai masakan dengan harga antara Rp 10 ribu seperti Rames, Pecel dan juga Soto, hingga Rp 60 ribu yang berwujud kepala manyung jumbo!
Menu kepala manyung jumbo adalah menu paling best di warung makan sederhana yang lokasinya berada di antara sawah-sawah ini. Ada juga menu Gulai sapi yang sampai kini masih dicari penggemar setianya.
Bertemu Pertamina...
2015-2017, di tengah pencapaiannya itu, Sumami ingin sekali membuat warungnya itu lebih besar dan lebih banyak menampung pelanggan. Ini menjadi titik balik keduanya setelah para goweser mempromosikan Pondok Dahar Mantap-nya yang kemudian berubah menjadi Pondok Dahar Mantap Selera Jenderal.
Di saat itulah Pertamina secara nyata mulai hadir dan memberikan manfaat bagi warung Selera Jenderalnya. Semua terjadi tanpa disengaja, Sumami yang dulunya juga merupakan pelaku usaha binaan Pertamina kembali bertemu dengan pemberi modal awalnya tersebut di warungnya.
Siapa sangka, seporsi kepala manyung tanpa sengaja menjadi senjata diplomasinya untuk meraih kepercayaan Pertamina sehingga bisa memperoleh pinjaman modal dengan bunga yang sangat rendah.
”Saat itu orang Pertamina jajan ke sini, mereka minta yang paling spesial kepala manyung. Ada yang dari pusat, awalnya waktu itu ragu sepertinya, tapi setelah mencicipi kepala manyung saya dia bilang kalau ini berpotensi-ini berpotensi, dari situ saya ditawari modal, jelas saya mau,” tambahnya.
Pertamina kemudian mulai menyuntikkan pinjaman modal dengan bunga yang murah kepadanya. Tak cuma sekali, tapi hingga tiga kali. Pinjaman pertama Rp 60 juta. Kemudian naik ke Rp 150 juta dan yang terakhir hingga Rp 200 juta. Tentunya, ada jeda dari peminjaman satu ke yang lain.
Nominal-nominal tersebutlah yang membuatnya berdiri hingga kini dan bahkan bisa membuat tempat usahanya makin luas dan makin maju.
”Tahun 2017 kalau nggak salah ketemu Pertamina, mereka istimewa. Ngasih pinjaman itu murah bungannya, kalau nggak salah 0,6 persen ya, saya langsung ambil. Yang pertama itu untuk memperbaiki tempat, memperluas dan tambahan modal, Pokoknya istimewa Pertamina itu, mereka membantu saya sekali,” katanya dengan nada antusias.
Sumami juga sempat membandingkan keuntungannya meminjam modal di Pertamina dengan di bank.
”Kalau di Pertamina kan telat sedikit bayarnya tidak apa-apa, lha kalau di bank disita langsung itu pasti. Makanya saya harus tahu diri, kalau diberi pinjamannya mudah, berarti bayarnya juga harus teratur dan tidak boleh tidak bayar,” sambungnya.
Selain bantuan pinjaman modal, sambung Sumami, Pertamina juga memberikan banyak pelatihan kewirausahaan. Bagaimana membuat sebuah manajemen yang baik hingga fasilitasi pameran di berbagai ajang.
Tantangan selanjutnya...
Sumami sendiri menjadi salah satu yang ditawari Pertamina. Namun sayangnya, karena keterbatasan sumber daya, dia urung untuk ikut serta.
”Kalau saya bisa pasti sudah diajak kemana-mana, tapi saya tidak bisa meninggalkan pelanggan, juga kalau ikut sumber dayanya terbatas, bisa tapi banyak pertimbangan,” sambungnya.
Walau demikian, dia tetap bersyukur bisa menjadi UMKM binaan Pertamina. Berkat hal itu, Selera Jenderal-nya benar-benar mungkin bisa didengar para Jenderal dan negarawan. Pelanggan demi pelanggan juga bisa tiap hari terus dia manjakan dengan masakan rumahan yang nyaman dan menyenangkan.
Walau memang, keresahannya masih sama. Akan dibawa kemana Selera Jenderal setelah ini dan akan diteruskan siapa jika Ia dan suaminya telah tiada. Maklum saja, usia mereka kini tak lagi dikatakan muda. Sumami berkata, semakin besar usahanya, maka harus semakin besar juga modalnya.
Bantuan pinjaman modal pertamina yang terakhir, yakni sebesar Rp 200 juta telah Ia gunakan untuk membeli sebidang tanah yang rencananya untuk tempat perluasan usahanya.
Cita-citanya saat ini memang membuka anak cabang dengan masakan khas. Entah itu Kepala Manyung yang kini jadi primadona atau Gulai Sapi dan Kambing yang tak kalah prospeknya.
”Tapi sayangnya sekarang sudah tidak bisa mengajukan lagi karena sudah dialihkan ke bank negara pinjaman modalnya, padahal ya kita tahu pasti sistemnya beda. Kalau di Pertamina itu baik hati, telat nggak disita, kalau bank, mending saya berhenti dulu pengembangannya sampai sini, Cuma ya sayang banget, sayang banget, Pertamina sudah nggak bisa nerima pengajuan lagi,” kata Sumami.
Dia bahkan menyebut ini menjadi keresahan bersama antarpelaku UMKM. Sumami berani menjamin banyak pelaku usaha yang merasakan manfaat dari program yang dijalankan Pertamina tersebut.
”Ada yang belum lunas juga mereka tidak disita asset-nya, ditunggu sampai lunas sama Pertamina, tapi sayang sekali sudah tidak ada ya program itu? Ya harapannya masih ada lah, itu sangat membantu teman-teman UMKM yang sedang merintis usahanya. Mana lagi pinjaman yang bunganya sedikit dan cicilannya tidak seketat di bank, ” gumam Sumami.
Terlepas dari pintanya itu, Sumami berharap Pertamina bisa terus maju. Bisa menjadi perusahaan yang makin bermanfaat untuk para pelaku usaha seperti dirinya dan bisa menjadi penolong bagi mereka yang sedang mengembangkan usaha.
”Kita semua mengharapkan pinjaman lagi pertamina, bisa membantu kami lagi bisa support kami lagi kedepannya, saya pribadi mengucapkan banyak-banyak terima kasih karena Pertamina sudah mengangkat kami sejauh ini, benar-benar saya terima kasih,” tutupnya.
Dua unggulan...
Sumami sekali lagi bergumam dan mengatakan bagaimana bermanfaatnya bantuan modal yang disuntikkan Pertamina padanya, juga ke rekan UMKM-nya. Namun kali ini, dia beranjak ke arah tempat di mana banyak menu masakan tersaji.
Dia mengambil nasi dan tampak membuka dandang berisikan gulai sapi. Setelah meletakkan ke nampan, tangannya menyibak tirai etalase dan mengambil kepala manyung berukuran lumayan.
Sumami membawanya ke meja di mana tempat kami berbincang tadi. Dua menu andalan dari Pondok Dahar Mantap Selera Jenderal kini sudah ada di depan mata, Gulai sapi dan juga Kepala Manyung yang dimasak santan.
Ia mempersilahkan penulis untuk mencicipi secara cuma-cuma. Tak enak hati rasanya, tapi aroma kedua makanan ini berkebalikan, sangat enak!
Tangan penulis sangat berat untuk mengambil nasi dan lauk pauk tersebut. Tapi di sisi lain, lidah ingin segera merasakan kenikmatan rasa dari masakan utama rumah makan yang terkenal itu.
”Aromanya saja enak, apalagi rasanya,” gumam penulis diikuti dengan isyarat Sumami meminta penulis untuk segera mencicipi masakannya.
Gulai sapi mantap dari Pondok Dahar Mantap Selera Jenderal Demak (Murianews/Anggara Jiwandhana)
Gulai sapi adalah makanan pertama yang penulis sentuh. Penulis siran nasi putih yang masih panas itu dengan kuah gulai yang tak kalah panasnya. Beberapa potong daging berbentuk kotak-kotak penulis sendok dan timpa ke atas nasi.
Di atas meja ada kecap dan sambal yang menjadi kondimen penambah citarasa . Namun penulis ingin mencicipi rasa originalnya terlebih dahulu.
Satu sendok pertama berisi sedikit nasi putih, kuah yang cukup memenuhi sendok dan sepotong daging sapi penulis masukkan ke mulut. Gigi mengunyah dan lidah merasakan.
Satu suapan pertama itu sejatinya sudah bisa menggambarkan bagaimana rasa dari masakan tersebut. Namun penulis masih belum yakin. Satu suapan lagi penulis siapkan, tapi kali ini dengan nasi yang cukup banyak dan dua potongan daging lengkap dengan kuahnya. Gigi mengunyah dan lidah merasakan makanan tersebut lagi.
Ternyata benar, rasa dari gulai sapi ini cukup sederhana, bahkan seperti masakan rumahan yang menenangkan dan selalu menyenangkan entah berapa kalipun itu disajikan.
yang berkebalikan...
Rasanya sederhana, namun sangat hangat. Tidak ada gimik rasa, tidak neko-neko tapi tetap enak dengan kesederhanaannya. Kuahnya masuk dengan mudah ke tenggorokan, sangat nyaman seolah tidak ada yang tertinggal kecuali rasanya yang gurih dan hangat.
Dagingnya, jangan ditanya, Sangat empuk! Di sela-sela mencicipi itulah Sumami mengatakan jika Gulai ini menjadi salah satu primadona di kalangan lansia. Pantas saja, rasanya benar-benar sederhana dan bersahabat tapi dijamin, benar-benar enak.
Penulis kemudian beralih ke kepala manyungnya. Dari baunya saja sudah diketahui jika makanan ini punya citarasa yang kuat. Berkebalikan dari gulai sapi yang sangat lembut dan nyaman untuk dimakan.
Benar saja, cita rasanya sangat nendang! Seolah lidah dipaksa untuk mencerna kenikmatan yang langsung menyambar sejak gigitan pertama. Gurih dan pedas adalah dua rasa dominan. Tanpa ampun, suapan pertama saja sudah buat berkeringat.
Dua menu andalan dari Pondok Dahar Mantap Selera Jenderal Demak yakni Kepala Manyung dan Gulai Sapi (Murianews/Anggara Jiwandhana)
Kalau ada makanan pembakar semangat dan bikin melek di pagi hari, kepala manyung Selera Jenderal ini harus dimasukkan dalam salah satu daftarnya! Meski tentu saja, tingkat kesukaan akan makanan pedas ini berbeda tiap orangnya.
Tidak ada komentar lainnya, makin enaknya makanan, makin sedikit pula omongannya. Hanya ada suara kecapan, kunyahan dan sesapan yang makin keras jika bertemu daging yang nyempil di sela-sela tulang ikan. Kepala manyung Selera Jenderal adalah sebuah master piece di tengah lengangnya jalanan pedesaan di pinggiran Demak itu.
Di balik nendangnya rasa kepala manyung Selera Jenderal, ada uluran tangan Pertamina yang membawanya jadi ternama.
Dorongan tetap maju...
Area Manager Comm, Rel, & CSR Pertamina Patra Niaga Regional (JBT) Taufiq Kurniawan sangat senang jika salah satu UMKM binaan Pertamina tersebut kini sudah berkembang dengan sangat pesat.
Meski memang, Pertamina tidak bisa lagi memberikan bantuan modal karena program tersebut sudah tidak dijalankan sejak 2022 silam.
”Kami tetap mendorong Selera Jenderal untuk semakin maju dan berkembang semakin baik lagi,” sambungnya.
Taufiq menambahkan, tujuan awal Pertamina memang mendidik secara total para pelaku UMKM untuk naik kelas dan berhasil menjadi sebuah usaha yang maju. Namun terlepas dari itu, Pertamina juga berharap dan mendorong para pelaku UMKM binaannya juga bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.
”Sejak program tersebut dilangsungkan, ada 850 UMKM yang merasakan manfaatnya. Kini setelah program tersebut berhenti, kami masih ada sejumlah program yang bisa dimanfaatkan oleh mereka. Seperti fasilitasi pelatihan, pameran (dalam dan luar negeri) serta sertifikasi bagi mitra (Halal, PIRT ),” tutupnya.